HomeCEBIZONE

Runtuhnya Brand Sepatu Legendaris

XYZonemedia.com - Runtuhnya era kejayaan brand sepatu ternama era 1990an seperti Bata, Carvil, dan New Era mulai tercium sejak lama, dengan penuru

Ray-Ban: Dari Ambang Kebangkrutan hingga Sukses dengan Inovasi AI
Kota Pati Belajarlah pada Kasus Kota Detroit dalam Memulihkan Reputasi
Kebangkitan dan Kejatuhan Miliarder Tiongkok di Bawah Kepemimpinan Xi Jinping

Ilustrasi Brand-brand Sepatu Legendaris

XYZonemedia.com – Runtuhnya era kejayaan brand sepatu ternama era 1990an seperti Bata, Carvil, dan New Era mulai tercium sejak lama, dengan penurunan permintaan dan hilangnya daya tarik di mata konsumen.

Kehilangan Daya Tarik di Mata Konsumen

Brand sepatu yang pernah berjaya pada era 1990an seperti Bata, Carvil, dan New Era mulai kehilangan “brand” mereka secara perlahan di mata konsumen. Turunnya permintaan membuat perusahaan-perusahaan ini merugi karena tidak mampu mencukupi kebutuhan operasionalnya. Banyak yang mengira penyebab utamanya adalah lambatnya inovasi yang dilakukan oleh brand-brand tersebut.

Namun, pakar mengatakan bahwa brand sepatu legendaris ini sebenarnya tumbang karena diterjang dua disrupsi sekaligus yang membuat mereka gulung tikar. Sebelum pandemi datang, brand lawas ini sudah terlambat dan cenderung lamban dalam melakukan digitalisasi proses operasinya. Mereka tidak hanya memanfaatkan channel digital, tetapi juga menciptakan komunitas digital dan menerapkan strategi ketakutan kehilangan momen atau fear of missing out (FOMO) dengan menciptakan sesuatu yang viral untuk mencuri pangsa pasar.

Disrupsi Milenial dan Gen Z

Sementara itu, banyak pendatang baru yang bergerak cepat memanfaatkan teknologi digital seperti merek lokal Compass, Brodo, Aerostreet, dan lainnya. Ketidakmampuan brand lawas dalam menciptakan branding yang kuat dan membaca preferensi gaya berpakaian Gen Z memberikan citra bahwa produk mereka tidak berkualitas dan ketinggalan zaman. Di mata Gen Z, sepatu merek ini dianggap brand lokal dengan segmen menengah bawah, model jadul, dan selera bapak-bapak.

Data transaksi e-coomerce

Dampaknya, brand lawas lambat mengikuti pergerakan kebutuhan konsumen milenial dan Gen Z. Segmen konsumen dengan daya beli tinggi adalah milenial, sementara Gen X mulai pensiun dengan usia di atas 45-60 tahun, dan boomers 70 tahun.

Kesulitan Beradaptasi dengan Pasar

Sebagai contoh, brand sepatu yang lebih tua seperti Nike dan Adidas tidak mengalami masalah serupa karena mampu bergerak cepat dalam membaca pergerakan permintaan pasar. Banyak yang bilang ini risiko big company; ketika mereka mau berbelok, banyak ritual yang harus dilakukan, dan ketika perubahan dilakukan, seringkali sudah terlambat.

Ini juga terjadi pada Bata. Sepatu yang mau diproduksi harus mendapat persetujuan dari induk organisasi, yakni Bata Shoe Organization di Kanada. Bayangkan saja, tren bulan ini baru disetujui tiga bulan lagi, sehingga mereka kehilangan momen penting di pasar.

Upaya yang Tidak Membuahkan Hasil

Bata, misalnya, ingin dikenal sebagai produk berkualitas dengan menyasar segmen menengah ke bawah, terbukti mereka membuka banyak cabang di kabupaten atau kota kecil. Namun, nyatanya, kualitas yang menurun dan harga yang tidak kompetitif membuat brand ini semakin terpuruk.

Ini menjadi bukti nyata bahwa tanpa inovasi dan adaptasi cepat terhadap perubahan pasar, bahkan brand legendaris sekalipun dapat kehilangan daya tariknya dan akhirnya tenggelam dalam persaingan yang semakin ketat. ***

COMMENTS

WORDPRESS: 0